Welcome On Board

Selamat datang di blog yang khusus yang membahas tentang Sarana Bantu Navigasi Pelayaran di Indonesia

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Sub Direktorat Perambuan, Direktorat Kenavigasian, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut - Kementerian Perhubungan

Senin, 25 April 2011

Kamis, 07 April 2011

IALA Recommendation O-133 (Rekomendasi IALA O-133




IALA Recommendation O-133
On
Emergency Wreck Marking
Buoy
Edition 1
December 2005

LAMPIRAN – Penandaan Buoy Darurat Kerangka kapal

1 PENDAHULUAN

Bangkai kapal dari 'tricolor' di Selat Dover pada tahun 2002 telah membawa ke dalam fokus
respon yang efektif yang diperlukan untuk secara memadai dan cepat tanda bahaya baru tersebut dan mencegah tabrakan. Pihak berwenang yang bertanggung jawab perlu menilai daerah mereka tanggung jawab dan cepat respon kemampuan sebagai bagian dari perencanaan kontingensi mereka. Pedoman IALA No.1046 - Respon Rencana Penandaan Kerangka kapal Baru (Juni 2005) memberikan panduan kepada berwenang untuk segera, efektif dan terkoordinasi dengan baik respon dalam situasi seperti ini. Pedoman merekomendasikan prosedur untuk diamati, serta sebagai pertimbangan yang harus diperhitungkan berkaitan dengan semua langkah yang diperlukan bila dihadapkan dengan bahaya baru atau penghalang sebagai akibat dari insiden di daerah mereka tanggung jawab. Selain itu, telah ada diskusi berkaitan dengan keterbatasan IALA ini Maritim Buoyage Sistem saat memberikan menandai awal bahaya baru. Saat ini, baru bahaya umumnya ditandai oleh kardinal atau lateral pelampung, meskipun diakui bahwaJumlah Pihak berwenang juga mengerahkan terisolasi tanda bahaya. Recent groundings dan tabrakan telah menunjukkan kebutuhan untuk revisi tentang bagaimana baru bahaya harus ditandai, terutama didarurat. Dengan demikian, No Pedoman 1046 memberikan pedoman dan rekomendasi untuk kecelakaan darurat menandai.

2 RUANG LINGKUP & TUJUAN

Dalam Pedoman, referensi dibuat untuk sebuah 'menghancurkan darurat menandai pelampung. Ini Rekomendasi menyediakan rincian konfigurasi pelampung baru, selain yang sudah
ditemukan di IALA Maritim Buoyage System, yang berwenang dapat mempertimbangkan menyebarkanketika menanggapi bahaya baru atau obstruksi.


3 PERTIMBANGAN

Sebuah kecelakaan baru bisa sangat berbahaya bagi pelayaran, tidak hanya ketika posisi
yang tepat adalah diketahui dan masih bertanda, tetapi bahkan ketika posisi diketahui dan kecelakaan adalah ditandai dengan benar. Di masa lalu, bangkai kapal baru telah menyebabkan
masalah untuk pengiriman lain yang dihasilkan kerusakan, polusi dan bahkan hilangnya nyawa.
Seperti dijelaskan di dalam Pedoman No.1046, Wewenang harus mempertimbangkan berbagai respon termasuk penyebaran guardships, penggunaan AIS, VTS sementara dan penyebaran pelampung di antara tindakan-tindakan mitigasi risiko lainnya. Apapun tindakan mitigasi risiko tambahan dimulai, sebuah bahaya baru harus secara fisik ditandai. kondisi cuaca, keadaan laut dan fakta yang tidak diketahui tentang bahaya semua dapat menghambat menandai tepat waktu. Namun, sangat penting bahwa lokasi bahaya ditandai sesegera mungkin dan hal ini menandai dapat dengan mudah dikenali oleh kapal sebagai baru bahaya. Volume lalu lintas, lampu latar belakang dan proliferasi Aids to Navigasi (Aton) di daerah dapat membuat penempatan tanda kardinal atau lateral sulit bagi pelaut untuk cepat mengidentifikasi bahaya baru dalam tahap awal insiden. Dalam hal ini, Pihak berwenang diajak untuk mempertimbangkan penyebaran sebuah kecelakaan darurat pelampung yang menandai dirancang khusus untuk menandai bahaya baru. Rekomendasi IALA O-133 pada Kerangka kapal Darurat Marking Buoy


4 PENANDAAN DARURAT PELAMPUNG SUAR KERANGKA

Penandaan dengan pelampung suar kerangka kapal dirancang untuk memberikan bantuan visual dan radio tinggi navigasi pengakuan. Ini harus ditempatkan sedekat mungkin rongsokan kapal, atau dalam polasekitar kecelakaan, dan dalam setiap tanda lainnya yang mungkin kemudian dikerahkan.Bangkai kapal darurat menandai pelampung harus dipertahankan dalam posisi, sampai Kecelakaan ini terkenal dan telah diumumkan dalam publikasi laut;Kecelakaan ini telah disurvei dan tepat rincian seperti posisi dan kedalaman sedikitnya atas kecelakaan diketahui; sebuah bentuk yang permanen dari penandaan kecelakaan telah dilakukan.

4.1 Karakteristik

Pelampung memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Sebuah pilar atau tiang pelampung, dengan ukuran tergantung pada lokasi.
- Berwarna dalam jumlah yang sama dan dimensi garis-garis vertikal biru dan kuning (minimum dari 4 garis dan maksimum 8 garis).
- Dilengkapi dengan * biru bergantian dan cahaya berkedip kuning dengan berbagai nominal 4 mil laut (otoritas mungkin ingin mengubah rentang tergantung pada kondisi lokal) dimana 1 biru dan kuning berkedip kedua diselingi dengan interval 0,5 detik.
Bu1.0s + 0.5s + Y1.0s + 0.5s = 3.0s
- Jika beberapa pelampung dikerahkan maka lampu harus disinkronkan.
- Pertimbangan harus diberikan untuk penggunaan racon sebuah Morse Kode "D" dan /
atau AIStransponder.
- tanda atas, jika terpasang, adalah menjadi berdiri / tanda tambah seperti salib kuning tegak.
- Karakteristik cahaya dipilih untuk menghilangkan kebingungan dengan lampu biru untuk mengidentifikasi hukum penegakan hukum, keamanan dan layanan darurat.
- Pemasangan lampu yellow/blue

*Karakteristik cahaya dipilih untuk menghilangkan kebingungan dengan lampu biru untuk mengidentifikasi hukum penegakan hukum, keamanan dan layanan darurat.

Rabu, 09 Juni 2010

PENTINGNYA MENJAGA TINGKAT KESELAMATAN PELAYARAN GUNA MENUNJANG KELANCARAN TRANSPORTASI LAUT



PENTINGNYA MENJAGA
TINGKAT KESELAMATAN PELAYARAN
GUNA MENUNJANG
KELANCARAN TRANSPORTASI LAUT

-----------------------------------------------------------
1. PENDAHULUAN

a. Latar belakang
Sebagai negara kepulauan berdasarkan UU no 17 tahun 1985 tentang pengesahan Negara Kepulauan (Archipelago State) oleh konvensi PBB yang berarti diakui oleh dunia Internasional maka lndonesia mempunyai kedaulatan atas keseluruhan wilayah laut lndonesia. Peranan laut yang cukup berarti bagi pemersatu bangsa serta wilayah lndonesia dan konsekwensinya Pemerintah berkewajiban atas penyelenggaraan pemerintahan dibidang penegakan hukum baik terhadap ancaman pelanggaran pemanfaatan perairan serta menjaga dan menciptakan keselamatan pelayaran.
Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia merupakan laut dengan luas perairan 5,8 juta km persegi dan lebih kurang 17.000 pulau maka dapat diartikan bahwa laut merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial. Oleh karena selain memiliki sumberdaya alam hayati dalam jumlah besar seperti tumbuhan ataupun laut hewan, terumbu karang dan taman wisata maka laut juga penghasil sumberdaya alam non hayati seperti mineral dan barang tambang serta harta karun dan kerangka kapal beserta barang bawaan yang terkubur didalamnya. Disamping itu laut juga penghasil berbagai industri maritim seperti industri perikanan, wisata bahari, industri perkapalan dan jasa doking, jasa pelabuhan maupun sumberdaya mineral dan energi.
Pengelolaan laut yang terdiri dari keaneka ragaman hayati dari ekosistem dapat menimbulkan akibat sampingan dan oleh karenanya keberaadaannya harus terpelihara dan perlu dijaga kelestariannya. Penanganan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari kegiatan industri maritim yang tidak terkendali pembuangan limbah dan akibat ramainya kegiatan transportasi laut perlu dikelola secara hati-hati.
Laut sebagai jalur komunikasi (sea lane on communication) dapat diartikan bahwa pemanfaatan laut untuk kepentingan lalu-lintas pelayaran antar pulau, antar negara ataupun antar benua baik untuk angkutan penumpang maupun barang. Sebagai konsekwensi dari kegiatan tersebut maka perlu di tentukan alur laut kepulauan Indonesia bagi kepentingan pelayaran lokal maupun internasional beserta fasilitas keselamatan pelayaran seperti sarana bantu navigasi pelayaran (SBNP) dan infrastruktur lainnya. Pengaturan alur lalu-lintas dan perambuannya guna kelancaran dan keselamatan pelayaran merupakan konsekwensi dari penguasaan dan pengelolaan negara atas laut.
Disamping itu pembuatan jembatan di atas laut maupun terowongan di dasar laut sebagai alternatif lain moda transportasi dan penggelaran pipa untuk menyalurkan gas maupun minyak serta penempatan beberapa kabel di bawah laut guna berbagai kepentingan membutuhkan pengamanan dan keselamatan bagi pelayaran.
Untuk itu perlu ditetapkan peruntukan wilayah perairan guna pemanfaatan sumberdaya alam agar tidak saling menggangu antar kegiatan pengelolaan laut yang dapat menimbulkan dampak lingkungan khususnya kecelakaan terhadap transportasi laut dengan menetapkan alur dan pelintasan melalui pelaksanaan penandaan terhadap bahaya kenavigasian serta pemutakhiran kondisi perairan melalui kegiatan survey hidrografi dan kemudian diumumkan ke dunia pelayaran.

b. Wilayah Perairan lndonesia
Deklarasi Juanda menekankan bahwa lndonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan kesatuan wilayah darat, laut termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya serta udara diatasnya maupun seluruh kekayaannya merupakan suatu kesatuan wilayah lndonesia.
Berdasarkan konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) yang menempatkan hak dan kewajiban negara dalam memanfaatkan laut sesuai dengan status hukum bagian laut yang berbeda. Dalam mengelola potensi laut ada beberapa jenis laut yang dibedakan atas derajat dan tingkat kewenangan pemerintah lndonesia terhadap laut-laut tersebut dan perlu mendapat perhatian serta dikelola baik oleh pemerintah lndonesia maupun bersama negara tetangga.
Dalam mengelola potensi laut ada beberapa jenis laut yang perlu mendapat perhatian baik oleh Pemerintah maupun bersama negara tetangga antara lain :
• Laut wilayah lndonesia dan berada dalam kedaulatan lndonesia
- Perairan pedalaman
- Perairan kepulauan / nusantara
- Laut teritorial / wilayah (diluar laut nusantara)
• Laut di zona tambahan yaitu Laut kewenangan lndonesia dan lndonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan sumberdaya alamnya dan kewenangan untuk mengatur hak-hak tertentu
• Laut ZEE yaitu laut kepentingan Indonesia dimana keterkaitan Indonesia cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan kewilayahan ataupun kewenangan dan hak berdaulat atas laut tersebut
• Laut bebas diluar ZEE yaitu Laut kepentingan lndonesia dimana keterkaitan lndonesia cukup erat walaupun lndonesia tidak mempunyai kedaulatan kewilayahan ataupun kewenangan dan hak berdaulat atas laut tersebut
• Landasan kontinen dan kawasan dasar laut lnternasiona

c. Penetapan batas maritim
Batas maritim lndonesia ditetapkan melalui kebijakan nasional, bilateral dan regional maupun lnternasional namun dalam konteks bilateral dan regional masih banyak garis batas yang belum ditetapkan khususnya yang berkaitan dengan berbagai kawasan laut.
Melalui PP no 38 tahun 2002 tentang penetapan 183 garis pangkal bagi perairan dengan batas laut wilayah 12 mil dari garis pangkal tersebut. Walaupun Indonesia belum menetapkan zona tambahan di luar 12 mil laut wilayah namun telah mengumumkan dan mengundangkan ZEE seluas 200 mil dari garis pangkal. Untuk negara kepulauan(Archipelago State) maka penetapan titik dasar (base point) dihitung dari pulau-pulau terluar ataupun karang yang tenggelam sewaktu air pasang (low tide elevation) yang diberi penandaan dengan SB
Secara lnternasional lndonesia telah berhasil menetapkan selat Malaka yang dapat digunakan sebagai alur lnternasional dan sumbu dari 3 (tiga) alur laut kepulauan lndonesia (ALKI) melintasi perairan nusantara dan laut teritorial serta penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) di selat Malaka melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan konvensi organisasi maritim lnternasional.

2. MAKSUD DAN TUJUAN
Keselamatan pelayaran merupakan faktor penunjang untuk kelancaran transportasi laut dan mencegah terjadinya kecelakaan dimana penetapan alur pelayaran dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran melalui pemberian koridor bagi kapal-kapal berlayar melintasi perairan yang diikuti dengan penandaan bagi bahaya kenavigasian.
Penyelenggaraan alur pelayaran yang meliputi kegiatan program, penataan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaannya ditujukan untuk mampu memberikan pelayanan dan arahan kepada para pihak pengguna jasa untuk memperhatikan kapasitas dan kemampuan alur dikaitkan dengan bobot kapal yang akan melalui alur tersebut agar dapat berlayar dengan aman, lancar dan nyaman.
Pengaturan pemanfaatan perairan bagi transportasi dimaksudkan untuk menetapkan alur pelayaran yang ada di laut, sungai, danau serta melakukan survey hidrografi guna pemutakhiran data kondisi perairan untuk kepentingan keselamatan berlayar.
Tujun penjelasan tentang keselamatan pelayaran disamping menegaskan konsekwensi untuk menindak lanjuti hasil konvensi IMO terhadap Pemerintah tentang keselamatan pelayaran sekaligus mensosialisaikan tentang tugas dan peran Direktorat Kenavigasian Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dimaksudkan juga untuk memberikan masukan bagi upaya mencari solusi kedepan yang diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang timbul.

3. LANDASAN PENYUSUNAN
Hasil Konvensi Hukum Laut lnternasional tahun 1982 (UNCLOS 82) antara lain mengakui konsepsi Negara Kepulauan sebagai integral Hukum Laut lnternasional dan memperkenankan Pemerintah lndonesia untuk menetapkan alur-alur pelayaran melalui perairan lndonesia sebagai jalur laut bagi pelayaran lnternasional. Pemerintah lndonesia sebagai negara anggota penandatanganan Konvensi mempunyai berbagai kewajiban yang harus dilakukan dan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang ditetapkan sebagai Administrator Pemerintah lndonesia di IMO telah mengadop dan memberlakukan berbagai peraturan lnternasional maupun Nasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah lndonesia dibidang Perkapalan dan Pelayaran serta Keselamatan Pelayaran antara lain:
1) Konvensi lnternasional bidang Maritim (IMO) tentang Convention on the lnternational Regulation for Preventing Collisions at Sea 1972 (COLREG Convention 72)
Penjelasan aturan tentang Keselamatan pelayaran terutama dalam rangka pencegahan tubrukan di laut, 1972 dengan menetapkan ketentuan “Traffic Separation Scheme (TSS)” di beberapa kawasan yang diperkirakan rawan kecelakaan karena kondisi alam atau padatnya lalu-lintas pelayaran.
Beberapa klausul aturan yang menyentuh keselamatan pelayaran di perairan antara lain bagian B peraturan Colreg 72 menjelaskan tentang Aturan-aturan mengemudikan kapal dan melayarkan kapal serta sikap kapal dalam setiap keadaan penglihatan seperti di tuangkan dalam :
Aturan 6 tentang kecepatan aman
Setiap kapal harus senantiasa bergerak dengan kecepatan aman sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat dan berhasilguna untuk menghindari tubrukan dan dapat diberhentikan dalam suatu jarak yang sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada. Dalam menentukan kecepatan aman faktor-faktor berikut ini termasuk faktor-faktor yang harus diperhitungkan :
1. oleh semua kapal
 keadaan penglihatan
 kepadatan lalu-lintas, termasuk pemusatan-pemusatan kapal ikan atau kapal lain apapun
 kemampuan olah gerak kapal dengan acuan khusus pada jarak henti dan kemampuan berputar dalam keadaan yang ada
 pada malam hari adanya cahaya latar belakang seperti yang berasal dari lampu-lampu darat atau hambur-pantul dari penerangan-penerangan sendiri
 keadaan angin, laut dan arus, serta adanya bahaya-bahaya navigasi di sekitarnya
 sarat hubungan dengan kedalaman air yang ada

2. sebagai tambahan bagi kapal-kapal yang dilengkapi dengan radar yang bekerja dengan baik
 sifat-sifat khusus, daya guna dan keterbatasan-keterbatasan pesawat radar
 kendala-kendala apapun yang disebabkan oleh skala jarak radar yang digunakan
 pengaruh keadaan laut, cuaca dan sumber-sumber gangguan lain pada penginderaan dengan radar
 kemungkinan bahwa kapal-kapal kecil, es dan benda-benda apung lain tidak terjangkau oleh radar pada jarak yang memadai
 julmah tempat dan gerakan dari kapal-kapal yang terjangkau oleh radar
 perkiraan yang lebih tepat dari penglihatan yang sekiranya mungkin dilakukan bilamana radar dugunakan untuk menentukan jarak antar kapal atau benda lain di sekitarmya
Aturan 7 tentang Bahaya Tubrukan
 Setiap kapal harus menggunakan semua sarana yang tersedia sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada untuk menentukan ada atau tidak adanya bahaya tubrukan. Jika timbul keragu-raguan maka bahaya demikian harus dianggap ada.
 Penggunaan radar harus dilakukan dengan tepat jika dipasang dan bekerja dengan baik termasuk penyimakan jarak jauh untuk memperoleh peringatan dini akan adanya bahaya tubrukan dan pelacakan posisi radar atau pengamatan sistematis yang sepadan atas benda-benda yang terindra.
 Praduga-praduga tidak boleh dibuat berdasarkan keterangan yang kurang sekali khususnya keterangan radar yang kurang sekali.
 Dalam menentukan ada atau tidak adanya bahaya tubrukan pertimbangan- pertimbangan yang harus diperhitungkan
(i) bahaya demikian harus dianggap ada jika baringan pedoman kapal yang sedang mendekat tidak menunjukkan perubahan yang berarti
(ii) bahaya demikian kadang-kadang mungkin ada walaupun perubahan baringan yang berarti itu nyata sekali terutama bilamana sedang mendekati kapal yang sangat besar atau suatu tundaan atau sedang menghampiri sebuah kapal dengan jarak yang dekat sekali.
Aturan 9 tentang Alur Pelayaran Sempit
 Kapal yang sedang berlayar menyusuri alur pelayaran atau alur pelayaran sempit harus berlayar sedekat mungkin dengan batas luar alur pelayaran atau air pelayaran yang terletak di sisi kanannya bilamana hal itu aman dan dapat dilaksanakan.
 Kapal yang panjangnya kurang dari 20 meter atau kapal layar tidak boleh merintangi jalan kapal yang hanya dapat berlayar dengan aman didalam alur pelayaran atau air pelayaran sempit
 Kapal yang sedang menangkap ikan tidak boleh merintangi jalan setiap kapal lain yang sedang berlayar di dalam alur pelayaran atau air pelayaran sempit
 Kapal tidak boleh memotong alur pelayaran atau air pelayaran sempit jika pemotongan demikian merintangi jalan kapal yang hanya dapat berlayar dengan aman didalam alur pelayaran atau air pelayaran sempit yang demikian itu. Kapal tersebut boleh menggunakan isyarat bunyi yang ditentukan di dalam aturan 34 (d) jika ragu-ragu terhadap maksud kapal yang memotong
 (i) Di alur pelayaran atau air pelayaran sempit jika penyusulan hanya dapat dilakukan jika kapal yang di susul itu harus melakukan tindakan untuk memungkinkan pelewatan dengan aman maka kapal yang bermaksud menyusul itu harus menyatakan maksudnya dengan memperdengarkan isyarat yang sesuai dengan yang ditentukan di dalam aturan 34 (c)(ii) dan mengambil langkah untuk melewatinya dengan aman. Jika ragu-ragu kapal itu boleh memperdengarkan isyarat-isyarat yang ditentukan di dalam aturan 34 (d)
 (ii) Aturan ini tidak membebaskan kapal yang menyusul dari kewajibannya menurut aturan 13
 Kapal yang sedang mendekati tikungan atau daerah alur pelayaran atau air pelayaran sempit yang ditempat itu kapal-kapal lain dapat terhalang oleh alingan harus berlayar denga kewaspadaan khusus dan berhati-hati serta harus memperdengarkan isyarat yang sesuai dengan yang ditentukan di dalam aturan 34 (c).
 Setiap kapal jika keadaan mengizinkan harus menghindarkan dirinya dari berlabuh jangkar di dalam alur pelayaran sempit

Aturan 10 tentang Tata Pemisahan Lalu-lintas
2) Konvensi lnternasional bidang Maritim (IMO) tentang Safety of Life At Sea, 1974 (SOLAS 1974)

penjelasan aturan pokok lnternasional dibidang Keselamatan kapal tentang penerapan amandemen konvensi terhadap para anggota antara lain aturan mengenai survey, konstruksi dan stabilitas kapal, permesinan dan instalasi listrik termasuk peralatan keselamatan jiwa, radio komunikasi, peralatan navigasi kapal dan lain sebagainya

peraturan 2
tentang penyampaian berita Navigasi

peraturan 14
perlunya pembangunan SBNP pada lokasi tertentu yang dianggap membutuhkan

3) Konferensi Hukum Laut PBB tentang United Nations Convention On The Law Of The Sea of 10 December 1982 (UNCLOS 1982)

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention On The Law Of The Sea) ditanda tangani di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 dimana konvensi ini merupakan perwujudan dari masyarakat lnternasional untuk mengatur masalah Kelautan secara menyeluruh serta membuat rejim (peraturan) Hukum Laut yang baru yang sebelumnya belum diatur (Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958) antara lain lebar laut teritorial 12 mil laut untuk rejim kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil, Penambang Dasar Laut lnternasional.
Sebagai konsekewensinya adalah kewajiban bagi Pemerintah Indonesia untuk memenuhi ketentuan Internasional dalam menjamin kelancaran, keselamatan, keamanan, ketertiban dan kenyamanan berlayar agar lalu lintas angkutan laut aman dan lancar. Dilihat dari konsep negara kepulauan maka keberadaan laut mempunyai peran cukup berarti bagi pemersatu wilayah yaitu sebagai alat transportasi dan komunikasi.
Penjelasan aturan mengenai hak dan kewajiban negara terhadap daerah teritorialnya serta dasar hukum untuk menentukan batas wilayah teritorial. Termasuk pengaturan tentang hak negara terhadap laut bebas dan kewajibannya untuk melindungi lingkungan laut ari kerusakan akibat eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam laut.
Konsep kriteria dan pengaturan di bidang kelautan yang mempunyai implikasi dan harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang laut Nasional.
• Convention on the lnternational Regulation for Preventing Collision at Sea 1972 (Colreg Convention 72)
• Keputusan presiden no 65 tahun 1980 tentang Pengesahan “International Convention for The Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974”.
• Undang-undang Rep.Indonesia no 17 tahun 1985 tentang pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
• Undang-undang no 21 tahun 1992 tentang Pelayaran
• Penjabaran PP 81 tahun 2000 tentang Kenavigasian
• Peraturan Pemerintah 37 tahun 2002.
• Peraturan Pemerintah 38 tahun 2002

International Association of Marine Aids to Navigation and Lighthouse Authorities (IALA)
Organisasi yang dibentuk tahun 1957 yang non Pemerintah dan nirlaba serta merupakan assosiasi teknis yang menyediakan kerangka kerja bagi pihak yang berwenang (pemerintah) dalam pengaturan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, konsultan dan manufaktur dalam upaya untuk
• menyediakan kemudahan bagi kegiatan pelayaran yang aman dan effisien
• melakukan harmonisasi standard Sarana Bantu Navigasi Pelayaran,
• peningkatan perlindungan terhadap lingkungan kelautan

Keselamatan maritim merupakan suatu keadaan yang menjamin keselamatan berbagai kegiatan dilaut termasuk kegiatan pelayaran, eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam dan hayati serta pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan tata kelautan dan penegakkan hukum dilaut dalam menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban dan perlindungan lingkungan laut agar tetap bersih dan lestari guna menunjang kelancaran lalu lintas pelayaran. Konsep kriteria dan pengaturan di bidang kelautan mempunyai implikasi yang luas dan harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang laut Nasional.

4. PEMANFAATAN PERAIRAN
a.Tegaknya kedaulatan
Kedaulatan negara atas laut dapat diartikan sebagai hak bagi negara untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan atas laut guna dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Effektivitas kedaulatan negara di laut sangat tergantung kepada kemampuan dan kapasitas pemerintah dalam pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya alam khususnya di laut untuk selanjutnya mendukung aplikasi peran seluruh komponen bangsa dalam pengelolaan laut.
Undang-Undang no 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia menetapkan bahwa kepulauan dan perairan lndonesia menjadi satu kesatuan sedangkan laut yang menghubungkan antar pulau yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan kedaulatan Negara RI mencakup perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya beserta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya serta lebar laut wilayah dinyatakan 12 mil laut diukur dari garis pangkal menuju luar.
Posisi geografi lndonesia yang berada dipersilangan jalur transportasi dunia yang penting, memberikan kedudukan dan peranan strategis bagi bangsa lndonesia dalam hubungan antar bangsa. Kondisi geografi ini mensyaratkan semakin diintensifkannya peranan Perhubungan Laut dalam penyelenggaraan transportasi dan komunikasi disamping untuk menjamin terwujudnya kesatuan dan keutuhan yang kokoh bagi seluruh bangsa dan wilayah Republik lndonesia.
Penegakan kedaulatan di laut ditujukan untuk membela negara secara nyata. Penegakan hukum merupakan upaya penegakan undang-undang serta peraturan-peraturan yang menjadi instrumen pengaturan mengenai wilayah kedaulatan negara, penggunaan laut sebagai sarana perhubungan laut, udara dan komunikasi serta mengatur tata tertib pemanfaatan sumberdaya di laut maupun lingkungan hidup dan ekosistemnya.

b.Penyelenggaraan transportasi (pemanfaatan kelautan)
Wilayah laut dan pesisir merupakan kawasan strategis untuk berbagai aktivitas serta mempunyai karakteristik dan masalah yang unik dan kompleks yang ditandai dengan keberadaan berbagai pengguna jasa melakukan aktivitas dalam memanfaatkan sumberdaya alam menurut cara pandang yang berbeda. Keanekaragaman aktivitas yang menghasilkan berbagai produktivitas sumber daya alam menjadi daya tarik bagi pengguna jasa untuk melakukan pengelolaan dengan memanfaatkan kemudahan dalam pengelolaannya. Kegiatan ini dapat menimbulkan berbagai pemusatan pembangunan dan pengelolaan di wilayah tertentu yang memiliki skala dan intensitas yang tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah meningkat dan untuk mendukung aneka kegiatan angkutan lalu-lintas laut maka perlu di alokasikan kawasan tertentu guna difungsikan sebagai alur pelayaran yang terbebas dari segala aktivitas kelautan.
Dengan memperhatikan keselamatan dan keamanan berlayar di perairan atupun di alur pelayaran guna menghindari kecelakaan maka dapat diartikan juga bahwa kapal di dalam melakukan pelayaran sekaligus menjaga kelestarian lingkungan alur pelayaran sehingga dapat menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan wilayah perairan.
Setiap kapal yang berlayar di wilayah alur pelayaran ataupun pelabuhan harus dilakukan dengan kecepatan aman serta disesuaikan dengan kondisi perairan dan dibawah pengawasan Adpel. Hal ini dimaksudkan agar lalu-lintas angkutan laut berlangsung aman dan mampu menjaga kondisi perairan serta dapat merangsang pembangunan yang berbasis pemberdayaan dan kekuatan lokal.
Dalam melakukan berbagai kegiatan di laut dan pesisir diterapkan berbagai peraturan perundangan-undangan di bidang kemaritiman Nasional dan lnternasional seperti hasil konvensi produk lnternasional United Nation, International Maritime Organization dan lain sebagainya. Penerbitan peraturan lalu-lintas kapal dimaksudkan agar setiap kapal yang berlayar di perairan bebas dan menyusuri alur khususnya alur yang sempit ataupun berada di perairan pelabuhan akan selalu berhati-hati terhadap bahaya tubrukan.
Sehingga dalam penyelenggaraan transportasi laut yang berbasis keselamatan dan keamanan pelayaran mengandung unsur :
• pemeliharaan kapasitas alur pelayaran dengan mengatur jumlah traffik serta kecepatan dan bobot kapal
• pembatasan traffik ataupun pengembangan aktivitas kelautan guna optimalisasi alur pelayaran
• keselarasan dan keserasian pemanfaatan perairan dengan berbagai kepentingan melalui penataan ruang perairan
Artinya bahwa kapal akan melakukan gerakan disesuaikan dengan kondisi perairan sehingga tidak menimbulkan dampak baik terhadap bahaya kecelakaan maupun lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aturan diterbitkan badan dunia guna mencegah tubrukan di laut dalam rangka mempertahankan ti\ngkat tinggi keselamatan di laut.

5. PERAN PERHUBUNGAN LAUT DALAM KESELAMATAN PELAYARAN

Mengaktifkan sebuah institusi secara menyeluruh yang dikaitkan dengan tugas dan fungsi Kenavigasian sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran bukanlah hal yang mudah bahkan tak semudah yang digambarkan ataupun direncanakan diatas kertas. Hal inilah yang dirasakan oleh Direktorat Kenavigasian yang sejak awal sudah menyadari beratnya tanggung jawab dan harapan yang diamanatkan oleh ketentuan undang-undang ataupun kewajiban dari mandatori dari hasil konvensi peraturan lnternasional serta rumitnya masalah bahkan konflik yang dihadapi dilapangan.
Dukungan masyarakat terhadap keselamatan pelayaran dan fasilitasnya tidak datang dengan sendirinya namun kebutuhan dan kepercayaan masyarakat akan keselamatan pelayaran serta sosialisasi lebih berperan. Sesuai dengan PP nomor 81 tahun 2000 tentang Kenavigasian dimana Direktorat Kenavigasian Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang berperan dan bertanggung jawab terhadap fungsi keselamatan pelayaran belum dikenal ataupun diakui berbagai pihak baik instansi Pemerintah maupun masyarakat pengguna jasa namun untuk manfaatnya sudah dirasakan.
Persoalannya kepercayaan publik kepada institusi itulah yang tidak ada selama ini. Masyarakat hanya mengeluh dan melakukan kritik tentang adanya fasilitas keselamatan pelayaran yang tidak optimal serta janji-janji pemerintah tentang pembangunan dan perbaikan bila dalam kerusakan. Yang diperlukan masyarakat adalah hasil dan bukti pelaksanaan dan juga banyak masyarakat belum mendukung langkah-langkah yang dilakukan (SBNP hilang) namun pengelolaan keselamatan pelayaran tidak boleh berhenti. Sepanjang laporan masyarakat masih ada yang berarti keberadaan fasilitas masih dibutuhkan dan sangat mengganggu apabila tidak berfungsi. Bahkan hingga saat ini setelah banyak langkah yang telah ditempuh masih terus saja ada pihak yang mengecam kinerja Direktorat Kenavigasian diantaranya tidak berfungsinya SBNP hingga terjadinya kapal tubrukan ataupun kandas.
Menurut tugas pokok dan fungsi Direktorat Kenavigasian maka langkah yang dilaksanakan baru sebagian antara lain kegiatan penyelenggaraan SBNP dan Telkompel dari tugas Kenavigasian (sesuai UU no 17). Apabila ditemukan berbagai kendala maka perlu diambil langkah-langkah maksimum guna mengatasinya namun sepanjang tidak didasari pertimbangan objektif perlu diambil langkah darurat.
Melaksanakan fungsi keselamatan pelayaran bukan hal yang mudah yang harus diikuti oleh semua instansi dan ditunjang dana yang cukup serta kesadaran semua pihak termasuk masyarakat pengguna serta pesisir dan kelautan. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah membangun menejemen dan aturannya, mendorong pemerintah melakukan terobosan atau reformasi, mewujudkan fasilitas sarana dan prasarana keselamatan pelayaran serta membangun kepercayaan ataupun kesadaran masyarakat dan memacu pembentukan payung aturan. Keselamatan pelayaran merupakan kebutuhan sehingga perlu segera diwujudkan dan mengaktifkan fungsi-fungsi keselamatan pelayaran melalui pembentukan lembaga dan menejemen serta fasilitas sarana dan prasarananya.

6. TANTANGAN
Potensi terjadinya kecelakaan kapal
Pada umumnya disebabkan oleh
• Tingkat lalu-lintas pelayaran di suatu area cukup padat
• Belum adanya pemetaan pada daerah yang mempunyai hambatan (obstacle) alamiah yang dapat menyebabkan kecelakaan
• Perkembangan jenis dan jumlah muatan berbahaya yang diangkut kapal semakin meningkat
• Belum diaturnya tata cara berlalu-lintas pada alur pelayaran secara formal ditetapkan.
• Belum lengkapnya penandaan pada area obstacle seperti SBNP baik pada alur pelayaran konvensional maupun alur pelayaran yang telah ditetapkan

Beberapa keluhan dari pengguna jasa antara lain
• keandalan lampu navigasi (SBNP)
• tidak tertibnya aktivitas kapal nelayan pada ambang luar pelabuhan dapat mengganggu kapal yang berlayar
• tertib dan teraturnya pelayanan pandu.
• Kondisi perairan baik di alur pelayaran maupun pelabuhan

7. BEBERAPA FAKTOR YANG MEMEPENGARUHI KESELAMATAN PELAYARAN

Fungsi keselamatan pelayaran
a) Mendukung kelancaran dan keselamatan kapal berlayar dengan membangun jalur pelayaran kapal yang ideal dan fasilitas keselamatan pelayaran
b) Meningkatkan pemberian perlindungan terhadap berbagai aktivitas pengelolaan di laut dan pesisir guna mendukung pertumbuhan ekonomi dalam pengembangan potensi laut
c) Membangun jalur pelayaran kapal yang ideal dan meningkatkan fasilitas keselamatan pelayaran serta effisien dalam penyelenggraannya
d) Pemenuhan perlindungan terhadap bahaya navigasi dan berbagai pulau-pulau kecil ataupun Low Tide Elevation (LTE) khususnya pada pulau-pulau kecil terluar ataupun pada wilayah perbatasan
e) Menetapkan alur pelayaran baik di laut, selat, sungai maupun danau dan serta pengaturan sistem berlalu lintas guna meningkatkan keselamatan guna mendukung keamanan, keselamatan dan kelancaran kapal berlayar
Guna mendapatkan perairan yang aman perlu dipersiapkan fasilitas prasarana dan sarana yang sesuai dengan rencana dan persyaratan kapal yang melalui wilayah perairan tersebut seperti panjang dan dimensi alur, banyak tikungan, kondisi alam dan teknis perairan, bahaya navigasi dan cuaca serta sistem perambuan.
Pengaturan terhadap fungsi alur pelayaran agar tidak dipergunakan atau terganggu oleh berbagai aktivitas kelautan perlu mendapatkan persetujuan dari beberapa pimpinan instansi yang terkait bahkan dituangkan dalam kebijakan tataruang perairan.
Seperti pedoman penempatan fasilitas sarana dan prasarana kelautan agar gelaran pipa/kabel atau bangunan lepas pantai (offshore) lebih tertata dan merupakan kebutuhan yang mutlak dimiliki pemerintah sehingga penggunaan perairan dan penempatan fasilitas prasarana dan sarana tidak menjadi masalah dikemudian hari bahkan menimbulkan bencana dan kecelakaan.
Apabila ditinjau dari aspek effisiensi pelaksanaan angkutan laut maka kedepan tipe kapal akan berkembang sesuai dengan perkembangan kargo dan sistem kemasan atau BBM serta era teknologi dan informasi. Hal ini dapat memudahkan kapal berlayar dalam berbagai cuaca ataupun dapat melewati alur pelayaran sempit dan padat dengan aman dan lancar serta apabila diperlukan dapat meminta bantuan pandu.
Dalam menghadapi iklim teknologi dan era informasi komunikasi Navigasi khususnya dibidang pelayaran maka penyelenggaraan Kenavigasian perlu ditingkatkan kapasitas dan kemampuan melalui pemanfaatan teknologi satelit dengan penyediaan sistem informasi navigasi yang memenuhi standard tertinggi guna memastikan ketelitian ataupun peningkatan akurasi posisi dalam wilayah tertentu. System tersebut dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas yang segera dapat menentukan posisi kapal di seluruh dunia serta kapabilitas waktu dan kecepatan untuk pemakaian multi-moda transportasi.
Melalui penerapan strategi implementasi ketetapan IMO serta dukungan IALA terhadap pengembangan sarana bantu navigasi di sektor maritim maka penggunaan teknologi dan informasi diantaranya dilakukan melalui penyediaan sistem radionavigasi satelit. Dengan kebijakan dan pemanfaatan teknologi tersebut diharapkan tingkat keselamatan dan keamanan pelayaran akan lebih baik oleh karena telah melalui proses penggunaan penentu posisi tiga dimensi dan sistem penentu kecepatan dan waktu.

a.Kenavigasian
Berdasarkan UU 17 tahun 2008 tentang pelayaran menyebutkan bahwa Kenavigasian adalah kegiatan yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), Telekomunikasi Pelayaran (Telkompel), Hidrografi dan meteorologi, Alur dan Pelintasan, Bangunan atau lnstalasi, Pemanduan, penanganan kerangka kapal dan Salvage, dan atau Pekerjaan Bawah Air (PBA) untuk kepentingan Keselamatan Pelayaran.
Untuk kepentingan keselamatan berlayar dan kelancaran lalu-lintas kapal pada daerah yang terdapat bahaya navigasi ataupun kegiatan di perairan yang dapat membahayakan keselamatan berlayar harus ditetapkan zona keselamatan dengan diberi penandaan berupa SBNP sesuai ketentuan yang berlaku serta disiarkan melalui stasiun radio pantai (SROP) maupun Berita Pelaut lndonesia. Disamping itu perlu diinformasikan mengenai kondisi perairan dan cuaca seperti adanya badai yang mengakibatkan timbulnya gelombang tinggi maupun arus yang tinggi dan perubahannya.
Penyiaran berita disampaikan disiarkan secara luas melalui stasiun radio pantai (SROP) dan/atau stasiun bumi pantai dalam jaringan telekomunikasi pelayaran sesuai urutan prioritasnya dan wajib memenuhi ketentuan penyiaran berita antara lain berita marabahaya, meteorologi dan siaran tanda waktu sandar bagi kapal yang berlayar di perairan lndonesia.
Pemasangan SBNP yaitu sarana yang dibangun atau terbentuk secara alami yang berada diluar kapal dan berfungsi membantu navigator dalam menentukan posisi dan/atau haluan kapal serta memberitahukan bahaya dan/atau rintangan pelayaran untuk kepentingan keselamatan pelayaran dilakukan guna memberi petunjuk terhadap zona terlarang yang tidak boleh dimasuki oleh setiap kapal yang melewati daerah tersebut.
Pembangunan Telekomunikasi Pelayaran dimaksudkan agar setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apapun melalui sistem kawat, optik, radio ataupun sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan pelayaran segera disampaikan kepada pihak atau pemerintah yang terkait.
Guna ketertiban perairan serta keamanan dan keselamatan navigasi maka setiap perencanaan kegiatan kelautan harus dikoordinasikan dengan Direktorat Kenavigasian agar tidak terjadi tumpang tindih penempatan ataupun pembangunan fasilitas kelautan yang dapat mengganggu kelancaran aktivitas pelayaran. Oleh karenanya penyelenggaraan Kenavigasian perlu ditetapkan:
• Sebagai upaya dalam mengatur berbagai aktivitas di alur pelayaran
• Untuk mendapatkan kesatuan langkah dalam mengelola alur pelayaran secara terpadu dan berbasis kelautan
• Upaya dalam mendukung kelancaran dan ketertiban lalu-lintas laut
• Upaya menata ruang kelautan yang digunakan untuk berbagai aktivitas

Penyelenggaraan Kenavigasian dilakukan guna mengatasi terjadinya kecelakaan ataupun tingginya waktu tunggu kapal melalui penyesuaian fasilitas pengembangan fasilitas pelabuhan serta keselamatan pelayaran dan fasilitas alur pelayaran terhadap peningkatan kepadatan traffik.
SBNP merupakan fasilitas keselamatan pelayaran yang meyakinkan kapal untuk berlayar dengan selamat, effisien, menentukan posisi kapal, mengetahui arah kapal yang tepat dan mengetahui posisi bahaya di bawah permukaan laut dalam wilayah perairan laut yang luas. Fasilitas SBNP tidak hanya digunakan untuk transportasi laut namun juga digunakan untuk pembangunan kelautan dan nelayan. SBNP diperlukan sebagai tanda bagi para navigator yang dipergunakan sejak adanya pelayaran menyeberang laut dan menyusur pantai dalam rangka melakukan kegiatan niaga ataupun perang.
Pada awalnya tanda visual diwujudkan berupa nyala api diatas bukit yang tinggi untuk malam hari sedangkan siang hari berupa asap yang mengepul. Dengan berkembangnya teknologi dan informasi maka akan digunakan berbagai sumber cahaya SBNP antara lain jaringan PLN, generator (mensu) ataupun solar cell dan untuk dapat dilakukan pemantauan dan pengendalian dari jarak jauh diarahkan kepada otomatisasi guna effisiensi.

b.Alur dan Pelintasanan
Penentuan alur pelayaran ditinjau dari aspek keamanan bernavigasi dimaksudkan agar alur terhindar atau bebas dari gosong ataupun karang yang tenggelam sewaktu air pasang (low elevation tide), dangkalan ataupun karang tumbuh, pulau-pulau kecil. Disamping itu selat yang terlalu sempit, perairan yang mempunyai arus atau ombak yang menyulitkan olah gerak kapal serta halangan navigasi lainnya. Alur pelayaran dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk pelayaran serta diumumkan oleh instansi yang berwenang kepada dunia maritim.
Mengingat posisi lndonesia yang merupakan persilangan antara dua wilayah yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia dan juga benua Asia dengan Australia maka kehadiran kapal asing dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya dan ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Dengan tetap mengutamakan kepentingan Nasional pemerintah tetap memberikan kelonggaran tertentu bagi perlintasan kapal-kapal asing di perairan lndonesia dengan menentukan alur laut kepulauan lndonesia (ALKI – PP 37 tahun 2002) dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan bangsa lain untuk yang akan dipergunakan sebagai perlintasan pelayaran lnternasional.
Penetapan ALKI tersebut dilakukan dengan memperhatikan keselamatan berlayar, pertahanan dan keamanan, jaringan kabel dan pipa dasar laut, tata ruang kelautan, eksplorasi dan eksploitasi serta konservasi sumberdaya alam, rute yang biasa digunakan pelayaran lnternasional dan rekomendasi organisasi lnternasional yang berwenang.
Dengan ditentukannya alur pelayaran tersebut yang diikuti persyaratan berjalan terus tanpa henti, langsung dan secepatnya dimaksudkan juga untuk mempermudah pengawasan terhadap keberadaan kapal asing selama berada di wilayah lndonesia serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (limbah kapal) ataupun bahaya penyalahgunaan oleh negara pengguna alur yang dapat mengganggu kestabilan negara.
Masalahnya alur pelayaran hanya tergambar di peta laut dan pemberian beberapa SBNP sebagai tanda alur dimana masyarakat masih awam terhadap pengertian dan penggunaan SBNP tersebut. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat maritim tentang keberadaan alur tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemanfaatan perairan seperti kegiatan nelayan ataupun off shore di alur yang dapat menimbulkan kecelakaan bagi kapal yang berlayar.

1). Pola Penentuan Alur Pelayaran
Tujuan penetapan alur adalah untuk memperoleh alur pelayaran yang ideal dan memenuhi berbagai aspek kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar serta effisien dalam penyelenggraannya.Kawasan alur pelayaran ditetapkan oleh batas-batas yang ditentukan secara jelas berdasarkan koordinat geografis serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran.
Berbagai pertimbangan yang harus dilakukan guna penetapan alur baik dari aspek perairan maupun sarana kapal yang melalui alur tersebut seperti :
Aspek perairan antara lain
• jenis alur
• Kedalaman dan lebar alur pelayaran
• jenis dasar laut
• sedimentasi
• banyaknya tikungan
• jenis bahaya navigasi
• Tipe dan tinggi pasang surut
• Pola arus yang terjadi (arah, kekuatan dan kecepatan) pada 2 (dua) musim yang berbeda
• Tinggi dan kekuatan gelombang pada 2 (dua) musim yang berbeda
• Kandungan sedimen
• Pola dan arah serta kecepatan angin

Aspek sarana kapal
• Kepadatan lalu lintas
• jumlah kapal yang melintas
• ukuran dan draft kapal yang melintas
• jenis dan kecepatan kapal

Penentuan dan pengaturan alur pelayaran di laut, sungai, danau serta penyelenggaraannya dan juga pengaturan sistem rute dan tata cara berlalu lintas perlu diprogramkan guna kelancaran dan keselamatan berlayar. Disamping itu pengaturan terhadap bangunan atau instalasi dan gelaran kabel atau pipa bawah air di perairan khususnya di alur pelayaran.
Dengan tumbuh berkembangnya beberapa wilayah pembangunan maka kepadatan traffik di beberapa alur pelayaran makin meningkat sehingga perlu :
a). ditetapkan sistem rute dan tata cara berlalu lintas yang didasarkan kepada
• Kondisi alur pelayaran
• Pertimbangan kepadatan lalu lintas
• Ukuran dan sarat kapal yang melayari alur
• Keadaan cuaca
b).dibangun skema pemisahan lalu lintas di laut (TSS) guna kelancaran dan keselamatan kapal berlayar pada alur pelayaran tersebut.
Pembangunan TSS harus mempertimbangkan berbagai aspek untuk kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar pada alur tersebut seperti
• Rute dan arah
• Garis haluan yang dianjurkan
• Rute dalam air
• Daerah yang harus dihindari
• Daerah lalu lintas pedalaman
• Daerah kewaspadaan
2). Pemilihan alur pelayaran
Guna mendapatkan jalur transportasi yang lancar dan aman maka dalam perencanaan alur perlu dilakukan survei alur pelayaran yang meliputi survei :
• Hidro-Oceanografi
• Klimatologi
• Keselamatan pelayaran
• Kebutuhan fasilitas keselamatan pelayaran
• Jumlah traffik
Dari aspek keselamatan dan strategis perairan maka pada beberapa lokasi perlu dilengkapi dengan fasilitas Vessel Traffic lnformation System (VTIS) ataupun Radar Beacon (RACON) sebagai persyaratan. Dengan dipenuhinya semua persyaratan alur pelayaran kemudian ditetapkan oleh Menteri dan disiarkan ke dunia maritim melalui lnternational Maritime Organisation (IMO).
Mengacu kepada konvensi IMO pada Mei 1998 telah mengadopsi standard penggunaan suatu sistem pelaporan kapa-kapal di laut kepada operator di darat pemantau lalu-lintas (Automatic Identifikasi System-AIS) untuk memantau keselamatan pelayaran seperti menghindari tubrukan di laut. Peralatan ini dihubungkan VTIS (Vessel traffic Information System) untuk mengetahui nama, posisi, kecepatan dan haluan kapal yang kemudian informasi ini dimasukkan dalam system AIS dan dipantau terus-menerus.

c.Bangunan dan instalasi
Era Globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah menimbulkan ramainya lalu lintas pelayaran khususnya pada wilayah perairan yang padat dan sempit dimana penggunaan perairan yang demikian ramai telah melebihi kapasitas yang tersedia. Dengan alasan tersebut pengendalian lalu-lintas pelayaran perlu mendapat perhatian yang lebih guna memberikan pelayanan kepada pengguna jasa dengan melakukan penyelenggaraan alur pelayaran dimana kapasitas dan kemampuan alur diselaraskan dengan tata penggunaan lahan perairan melalui pengaturan cara berlalu-lintas.
Berbagai aktivitas kelautan seperti adanya Bangunan atau instalasi yang dapat menimbulkan bahaya navigasi seperti
• bangunan lepas pantai (off shore) maupun kegiatan para nelayan dan wisata laut yang dapat menjadi bahaya navigasi di laut dan memerlukan penataan karena mengganggu keberadaan alur pelayaran.
• bangunan diatas perairan seperti jembatan juga dapat mengganggu keberadaan alur pelayaran selama tinggi jembatan berada dibawah toleransi batas kapal yang melewati alur pelayaran
• pemasangan pipa bawah laut ataupun gelaran kabel bawah laut yang berpotensi sebagai media penyaluran BBM dan gas bumi

Bangunan dan instalasi adalah instalasi yang berada pada suatu lokasi di perairan Indonesia baik yang kelihatan di permukaan maupun bawah air dalam jangka waktu sementara atau selamanya dapat membahayakan pelayaran. Pada area lokasi bangunan dan instalasi perlu ditetapkan daerah terlarang maupun daerah aman melalui penempatan SBNP, dipetakan dan diumumkan ke dunia pelayaran.
Dengan tumbuh dan berkembangnya bangunan lepas pantai (offshore) dan semakin meningkatnya kegiatan lalu-lintas pelayaran di perairan Indonesia perlu dilakukan pengaturan mengenai penyelenggaraan SBNP dalam rangka membantu keamanan dan keselamatan berlayar. Tugas pengendalian dan pengawasan bangunan lepas pantai dilakukan oleh BP Migas dan Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumberdaya Energi dan Mineral sedangkan terhadap pengawasan SBNP dilakukan oleh DJPL
Association of Lighthouse Authorities (IALA) yang telah menetapkan “Recommendation for the making of Offshore Structure” dan Indonesia sebagai salah satu negara anggota IALA menganggap perlu untuk mengatur lebih lanjut ketentuan “Recommendation for the making of Offshore Structure”
Pasca operasi adalah masa dimana instalasi minyak dan gas bumi dinyatakan tidak lagi operasi atau bermanfaat untuk keperluan produksi dan hal ini akan berdampak terhadap kegiatan pemanfaatan laut lainnya apabila tidak segera dikendalikan yakni melakukan pembongkaran instalasi atau program decomunisioning sesuai ketentuan yang berlaku dan kewajiban yang telah diatur dalam kontrak kerja sama Technical Assistance Contract (TAC).

d. Pemanduan
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kapal dan kerugian lain dalam pelayaran adalah dengan melaksanakan jasa pemanduan. Karena pandu dianggap seorang navigator yang sangat mengetahui kondisi dan sifat perairan setempat disamping keahliannya untuk mengendalikan kapal melalui saran atau komando perintahnya kepada nakhoda sehingga kapal dapat melayari suatu perairan dengan selamat.
Beberapa pertimbangan dalam menetapkan daerah perairan pandu antara lain :
1. Kondisi alur pelayaran
 Penyelenggaraan pemanduan merupakan lanjutan pengelolaan alur pelayaran dan dilaksanakan secara menyeluruh baik dari aspek peraturan maupun implementasinya
 Penataan dan pengaturan serta prosedur penetapan pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya laut dan aktivitas di perairan khususnya di alur pelayaran belum dilakukan secara komprehensip dan terpadu
2. Tingkat kepadatan dan kelancaran
Penyelenggaraan pemanduan dilakukan guna mengatasi peningkatan kepadatan traffik yang apabila tanpa diikuti oleh pengembangan fasilitas keselamatan dan alur pelayaran dapat menimbulkan tingginya waktu tunggu kapal ataupun terjadinya kecelakaan
3. Kebijakan penyelenggaraan pemanduan
 Upaya dalam mengatur berbagai aktivitas di alur pelayaran
 Untuk mendapatkan kesatuan langkah dalam mengelola alur pelayaran secara terpadu dan berbasis kelautan
 Upaya dalam mendukung kelancaran dan ketertiban lalu-lintas laut
4. Penyelenggaraan pemanduan
 Meningkatkan aksesbilitas lalu-lintas laut melalui alur pelayaran
 Memelihara kapasitas alur pelayaran sesuai dengan jumlah traffik, teknologi kapal dan kebutuhan pelabuhan
 Pembatasan traffik ataupun pengembangan aktivitas kelautan di wilayah perairan guna optimalisasi alur pelayaran
 Menghindari konflik pemanfaatan wilayah perairan
 Menyelaraskan dan menyerasikan pemanfaatan ruang perairan dengan berbagai kepentingan melalui penataan ruang perairan
Perairan pandu dialokasikan untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan ketertiban maupun kelancaran lalu-lintas kapal pada wilayah perairan tertentu. Faktor yang mempengaruhi penetapan perairan tertentu menjadi perairan pandu antara lain :
a. Faktor perairan
• Panjang alur pelayaran
• Lebar alur pelayaran
• Rintangan / bahaya navigasi
• Banyaknya tikungan
• Kecepatan arus
• Kecepatan angin
• Tinggi gelombang
• Cuaca
• Kondisi SBNP
b.Faktor kapal
• Kepadatan lalu-lintas kapal
• Ukuran kapal
• Jenis kapal
• Jenis muatan kapal

c. Survei Hidrografi
Setiap negara harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa bila ada informasi tentang suatu berita marabahaya dan hal tersebut harus segera dikirimkan kepada pihak yang terkait (pemerintah ataupun dunia pelayaran) yang dianggap perlu mengetahui. Berbagai berita seperti informasi tentang perubahan perairan seperti adanya bahaya navigasi, cuaca, kecelakaan offshore, pengerukan, perubahan lalu-lintas juga perlu diumumkan. Dengan alasan tersebut maka penyelenggaraan Kenavigasian yang dimaksudkan untuk:
• Meningkatkan aksesbilitas lalu-lintas laut melalui alur pelayaran
• Memelihara kapasitas alur pelayaran sesuai dengan jumlah traffik, teknologi kapal dan kebutuhan pelabuhan
• Pembatasan traffik ataupun pengembangan aktivitas kelautan di wilayah perairan guna optimalisasi alur pelayaran
• Menghindari konflik pemanfaatan wilayah perairan
• Menyelaraskan dan menyerasikan pemanfaatan ruang perairan dengan berbagai kepentingan melalui penataan ruang perairan
Untuk mendukung penyelenggaraan kenavigasian tersebut perlu terlebih dahulu dilakukan kegiatan survey hidrografi yang digunakan sebagai :
• pemutakhiran data perairan adanya bahaya baru navigasi dan perubahan garis pantai ataupun perairan akibat timbulnya aktivitas kelautan
• pembangunan alur pelayaran guna memenuhi kebutuhan transportasi laut
• antisipasi terhadap pengembangan perairan akibat kepadatan lalulintas kapal dan berkembangnya teknologi kapal dimana kapal akan mengalami perubahan teknis baik dimensi maupun draft kapal

8. POLA PENGELOLAAN ALUR PELAYARAN
Pada dasarnya pengelolaan alur dilakukan guna mendukung kelancaran lalu- lintas laut dengan memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan pelayaran serta aspek lingkungan dimana setiap tahunnya terjadi peningkatan aktivitas traffik sesuai dengan peningkatan kebutuhan akan angkutan laut.
Dampak belum terlaksananya pengelolaan alur pelayaran antara lain terjadinya kecelakaan dan kandasnya kapal di beberapa alur pelayaran yang disebabkan tidak terpantaunya peningkatan kepadatan traffik dan kondisi fisik perairan (perubahan kondisi perairan dan perilaku gerakan air laut dan cuaca). Disamping itu adanya beberapa aktivitas di perairan seperti bangunan ataupun instalasi dan gelaran kabel ataupun pipa yang tidak tertata dan juga perilaku nelayan di dalam melakukan aktivitasnya yang dapat mengganggu kelancaran lalu-lintas kapal.
Dalam rangka memenuhi kewajiban ketentuan Internasional dalam menjamin keamanan, ketertiban di wilayah laut dan keselamatan pelayaran di perairan Indonesia maka dikeluarkan kebijakan tentang peruntukkan wilayah laut Indonesia beserta pengawasannya yang antara lain berupa : penentuan batas negara, penentuan alur pelayaran, penetapan batas-batas alur pelayaran, penetapan kawasan khusus antara lain kawasan wisata, pengeboran minyak, pipa/kabel bawah laut ataupun pelabuhan. Penetapan peruntukan wilayah laut harus diikuti dengan kesiapan pemberian petunjuk dan pengenalan wilayah laut tersebut dengan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) serta dituangkan pada peta laut. Fungsi SBNP adalah sebagai penentu posisi kapal dan menunjukan wilayah yang aman bagi kapal yang berlayar dan juga tanda perbatasan negara serta pemberitahuan tentang adanya bahaya dan rintangan kenavigasian.
Berbagai kepentingan di perairan menyebabkan penataan ruang perairan perlu dilakukan agar tidak terjadi masalah dikemudian hari seperti :
• kondisi geografis
• berkembangnya wilayah di sekitar alur
• terbatasnya jumlah dan letak alur pelayaran
• padatnya lalu litas pelayaran di tiap-tiap alur
• ukuran dan sarat kapal yang melayari masing-masing alur
• adanya kegiatan atau bahaya baru di alur pelayaran

Pengelolaan alur pelayaran dilakukan dengan memperhatikan :
1. Prasarana Alur Pelayaran
• Kondisi alur (kedalaman, lebar alur)
• Perubahan alur
• Jenis alur dan dasar laut
• Sedimentasi
2. Pemeliharaan dan perawatan alur
• Jaringan Angkutan Laut
• Pertimbangan kepadatan lalu-lintas kapal
• Dimensi dan sarat kapal
• Penetapan jalur kapal
• Asal dan tujuan kapal
3. Pengamatan Laut
• Informasi cuaca
• Arah dan kecepatan arus maupun gelombang
• Rute dan arah kapal
• Pengembangan alur
• Perlindungan Sumberdaya laut
4. Fasilitas Keselamatan Pelayaran
• Implementasi aturan keselamatan (konvensi IMO, IALA)
• Kebutuhan jumlah dan lokasi SBNP dan VTIS
• Penentuan teknologi SBNP dan VTIS
• Moderisasi peralatan fasilitas Keselamatan Pelayaran
• Penentuan spesifikasi teknis peralatan SBNP

Karakteristik perilaku olah gerak kapal sangat kuat dipengaruhi oleh jenis kapal dan kondisi alam, khususnya
• Pengaruh kedangkalan perairan; meningkatnya hambatan navigasi, waktu yang dibutuhkan kapal untuk berlayar, pengaruh banyaknya gosong serta perubahan respon pada kemudi
• Ombak dan gelombang; stabil atau tidaknya haluan, meningkatnya ketahanan, kadang kala mengurangi respon kemudi
• Arus dan angin; gerakan menyimpang akibat pengaruh arus
• Kedudukan pasang-surut
Disamping itu perlu diperhatikan
• Tata letak alur; dipengaruhi oleh topografi dasar laut
• Kedalaman alur pelayaran; keel clearance (jarak aman) yang dibutuhkan dan keamanan secara sistematis
• Lebar alur; nilai minimal untuk lebar alur (satu jalur) adalh lima kali lebar balok dek (B) dari kapal yang terbesartanpa arus melintang namun untuk kondisi rata-rata 7 – 8 B

b. kondisi traffik
Perkembangan perekonomian selalu diikuti oleh peningkatan traffik serta perkembangan teknologi kapal dan informasi sehingga hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggaraan alur pelayaran. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi hampir di semua wilayah perlu dicermati terhadap peningkatan lalu-lintas angkutan laut dan kebutuhan akan alur pelayaran antara lain selat Malaka atau alur pelabuhan Surabaya yang menunjukkan peningkatan jumlah traffik dan jenis kapal yang signifikan sehingga perlu mendapat perhatian bagi pengelola alur.
Beberapa kasus kecelakaan kapal baik tubrukan ataupun kandas kapal menunjukkan adanya kelemahan pada alur pelayaran beserta fasilitasnya sehingga perlu dilakukan penelitian penyebabnya.
Seperti data traffik alur pelabuhan Surabaya yang menunjukkan bahwa jumlah kunjungan kapal petikemas lnternasional cenderung menurun namun sebaliknya total GRT kapal cenderung meningkat yang berarti dimensi kapal yang berkunjungan makin besar. namun untuk jenis pelayaran lainnya cenderung stabil.
Berbeda dengan data traffik selat Malaka yang menunjukkan jumlah traffik dan dimensi kapal yang melintasi selat Malaka cenderung meningkat. Selat Malaka dilalui oleh sekitar 300 unit kapal setiap bulannya termasuk diantaranya kapal super tangker minyak dan gas alam cair (VLCC) serta super container dengan kapasiatas hingga 5 juta ton.
Jalur transportasi strategis tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi juga mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari aspek keselamatan maupun ekologi. Perhitungan terhadap biaya pemeliharaan alur pelayaran baik dari aspek perairan maupun perawatan fasilitas SBNP belum ada kritarianya yang dapat dijadikan pedoman dalam mentukan klaim kerugian. Pedoman tersebut merupakan dokumen yang memuat petunjuk praktis untuk antisipasi terjadinya kerusakan dan perawatan serta pemeliharaan SBNP mulai dari traffik, identifikasi kerusakan, rahabilitasi serta melakukan klaim.

9. POLA PENGEMBANGAN ALUR PELAYARAN
Alur pelayaran merupakan salah satu infrastruktur transportasi laut yang memanfaatkan sumberdaya kelautan dimana keberadaannya diakui dan kawasannya dibebaskankan dari aktivitas kelautan lainnya. Pada dasarnya tujuan untuk menetapkan alur adalah untuk memperoleh alur pelayaran yang ideal dan dapat memenuhi aspek keamanan, keselamatan dan kelancaran berlayar serta effisien dalam penyelenggraannya. Kawasan alur pelayaran ditetapkan oleh batas-batas yang ditentukan secara jelas berdasarkan koordinat geografis serta dilengkapi dengan fasilitas sarana dan prasarana keselamatan pelayaran. Masalah yang mendasar dalam penetapan alur pelayaran adalah penentuan kawasan alur yang kurang mempertimbangkan berbagai aspek teknis dan ekonomis serta keterpaduan aktivitas kelautan sehingga fungsi alur sebagai jalur transportasi menjadi terganggu sehingga belum menjamin untuk keselamatan berlayar serta effisien dalam melayarinya.
Dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dalam pengembangan potensi laut menimbulkan keanekaragaman aktivitas di perairan (laut dan pesisir) yang menghasilkan produktivitas sumberdaya alam dengan memanfaatkan berbagai kemudahan dalam pengelolaannya akan menimbulkan pemusatan pembangunan dan pengelolaan di wilayah tertentu yang memiliki skala dan intensitas yang tinggi. Oleh karenanya penetapan alur apabila dilihat dari aspek keselamatan adalah bertujuan untuk memperoleh jalur pelayaran kapal yang ideal dan dapat memenuhi perlindungan terhadap berbagai kepentingan aktivitas pengelolaan di laut. Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah menimbulkan peningkatan jumlah kunjungan kapal dan dimensi kapal oleh karenanya fasilitas alur pelayaran dan fasilitas sarana bantu navigasi pelayaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan serta peningkatan teknologi perkapalan.
Guna memenuhi kepentingan keselamatan pelayaran perlu ditetapkan alur laut dan perlintasan yang keberadaanya diakui secara nasional maupun lnternasional dan dituangkan dalam peta pelayaran dunia serta kawasannya dibebaskan dari aktivitas kelautan lainnya. Untuk itu perlu di alokasikan kawasan tertentu guna difungsikan sebagai alur pelayaran yang terbebas dari segala aktivitas kelautan serta memenuhi persyaratan ukuran dan jumlah kapal yang melewati guna kelancaran dan keselamatan berlayar serta effisien dalam penyelenggraannya.
Berbagai pertimbangan yang harus dilakukan guna penetapan alur baik dari aspek perairan maupun sarana kapal yang melalui alur tersebut seperti :
Aspek perairan
• kedalaman dan lebar alur
• arah dan kekuatan arus
• banyaknya tikungan dan jenis bahaya navigasi
• jenis alur
• jenis dasar laut
• sedimentasi
Aspek sarana kapal
• Kepadatan lalu lintas
• jumlah kapal yang melintas
• ukuran dan draft kapal yang melintas
• jenis dan kecepatan kapal

Penentuan dan pengaturan alur pelayaran seperti di laut, sungai, danau serta penyelenggaraannya dan juga pengaturan sistem rute dan tata cara berlalu lintas perlu diprogramkan guna kelancaran dan keselamatan berlayar disamping mengatur masalah bangunan atau instalasi di perairan khususnya di alur pelayaran. Penetapan sistem rute dan tata cara berlalu lintas didasarkan kepada
• Kondisi alur pelayaran
• Pertimbangan kepadatan lalu lintas
• Ukuran dan sarat kapal yang melayari alur
• Keadaan cuaca

Dengan tumbuh berkembangnya beberapa wilayah maka kepadatan traffik di beberapa alur pelayaran meningkat sehingga perlu dibangun skema pemisahan lalu lintas di laut (TSS) guna kelancaran dan keselamatan kapal berlayar pada alur pelayaran tersebut. Pembangunan TSS harus mempertimbangkan berbagai aspek untuk kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar pada alur tersebut seperti
• Rute dan arah
• Garis haluan yang dianjurkan
• Rute air dalam
• Daerah yang harus dihindari
• Daerah lalu lintas pedalaman
• Daerah kewaspadaan

Pola pengembangan Alur Pelayaran dimaksudkan unuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan angkutan laut (traffik) yang akan berbenturan dengan berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut antara lain
• Tata ruang perairan (untuk menghindari konflik kepentingan)
• Peningkatan aksesbilitas kawasan andalan dan Budidaya
• Penetapan jalur pelayaran
• Penyelarasan dan keserasian pemanfaatan ruang
• Penegakkan aturan
• Perkembangan wilayah
• Daerah pedalaman, kewaspadaan, terlarang

a. Pemantauan dan pemeliharaan peningkatan traffik
Perlu dilakukan kegiatan pemantauan dan pemeliharaan serta rehabilitasi alur guna
• mempertahankan kondisi alur pelayaran
• mampu mengatasi berbagai kepentingan maupun konflik
• dapat disesuaikan atau sinkronisasi dengan kebijakan tataruang perairan
• mejaga kondisi angkutan laut sebagai pengguna alur pelayaran agar mampu berlayar dengan aman dan lancar dan tertib setiap saat
• antisipasi peningkatan traffik baik dari aspek jumlah kapal maupun sarat kapal

b. Pemanfaatan Teknologi dan lnformasi
Tuntutan terhadap jasa transportasi laut yang cepat, tepat, aman, nyaman, teratur dan terjangkau oleh para pengguna jasa semakin meningkat namun hal tersebut kurang diimbangi oleh pemberian pelayanan yang layak dari aparat yang bekerja dilapangan. Peranan jasa transportasi laut yang effisien dan effektif sangat dominan dalam memperlancar arus barang maupun penumpang dan oleh karena itu perlu diperhatikan keseimbangan dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasarana transportasi laut.
Melalui perpaduan unsur teknologi dan informasi yang cukup canggih akan mampu menghadirkan peralatan kenavigasian bukan hanya sekedar alat pengaman dan komunikasi namun dapat juga sebagai alat transmisi data. Bagi para pengguna jasa yang mobilitasnya tinggi hal ini sangat membantu dan dengan adanya perkembangan teknologi dimana masalah jarak dan tarif sudah bukan merupakan penghalang.
Teknologi dan informasi dapat memberi peluang kepada pengguna jasa untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik yang dampak lanjutnya akan meningkatkan kelancaran transportasi laut. Perkembangan demi perkembangan sangat diharapkan dari teknologi dan informasi seperti munculnya AIS ataupun VTIS yang akan memudahkan kegiatan pengamatan laut dalam memantau keamanan dan keselamatan laut. Konvergensi teknologi merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan harus dapat diakomodsikan serta dimanfaatkan dan ditanggapi secara positif dalam bentuk penyesuaian maupun peningkatan menejemen dan peralatan serta SDM.
lnternasional Maritime Organization (IMO) dan Savety of Life at Sea (SOLAS) chapter V regulation 19 tentang implementasi Automatic ldentification System (AIS) menetapkan setiap kapal harus dilengkapi oleh peralatan AIS. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui identitas dan posisi kapal serta dapat menuntun kapal apabila terjadi kondisi darurat (emergency).
Sejalan dengan ketentuan tersebut peralatan AIS dapat dimanfaatkan untuk melakukan pengawasan dan mengatur cara berlalu-lintas di alur pelayaran maupun di lingkungan pelabuhan serta di daerah perairan perbatasan ataupun wilayah terpencil dalam rangka mendukung sistem keamanan dan keselamatan pelayaran. Hal ini dilakukan dengan menempatkan peralatan AIS tersebut pada lokasi tertentu yang dinilai strategis sebagai fungsi SBNP.
Aplikasi Automatic Identivication System (AIS) sebagai
• pertukaran informasi antar kapal untuk menghindari tabrakan,
• alat VTS bagi menejemen lalu-lintas kapal
• informasi tentang kapal dan muatannya bagi negara-negara yang terletak di tepi perairan yang bersangkutan
Aplikasi strategis dan manfaat teknologi AIS
• Permintaan terhadap pemenuhan peraturan lnternasional termasuk lalu-lintas dan lingkungan (pengaturan rute dan sistem pelaporan wajib wilayah laut yang sangat ramai)
• Kontrol, koordinasi dan kepekaan tindak yang lebih baik misalnya dalam hal insiden maritim. (SAR dan Pencemaran)
• Pemantauan gerakan kapal yang dapat berupa jaringan lokal, nasional dan regional
• AIS sebagai pelengkap bagi Radar laut dan Radar VTS guna meningkatkan identifikasi dan pennadaan otomatis dengan menyediakan data haluan dan kecepatan seketika serta menghindarkan pertukaran jalur
• Penempatan stasiun AIS SBNP pada titk geografis yang signifikan atau tempat yang beresiko pada navigasi dapat menyediakan informasi dan data yang dapat melengkapi atau menggantikan SBNP
• AIS sebagai alat pengumpul data penyedia informasi yang lengkap semua lalu-lintas kapal yang dilengkapi AIS yang melewati rentang VHF stasiun.
• Mendeteksi awal dan handal dari kapal-kapal kecil pada gambar yang tidak jelas atau kabur menjadi lebih nyata

c. Pemantauan dan pemeliharaan peningkatan traffik
Perlu dilakukan kegiatan pemantauan dan pemeliharaan serta rehabilitasi alur guna
• mempertahankan kondisi alur pelayaran
• mampu mengatasi berbagai kepentingan maupun konflik
• dapat disesuaikan atau sinkronisasi dengan kebijakan tataruang perairan
• mejaga kondisi angkutan laut sebagai pengguna alur pelayaran agar mampu berlayar dengan aman dan lancar dan tertib setiap saat
• antisipasi peningkatan traffik baik dari aspek jumlah kapal maupun sarat kapal

d. Beberapa aktivitas dalam Penyelenggaraan Kenavigasian

1. Prasarana Alur Pelayaran
• Kondisi alur (kedalaman, lebar alur)
• Perubahan alur
• Jenis alur dan dasar laut
• Sedimentasi
2. Pemeliharaan dan perawatan alur
• Jaringan Angkutan Laut
• Pertimbangan kepadatan lalu-lintas kapal
• Dimensi dan sarat kapal
• Penetapan jalur kapal
• Asal dan tujuan kapal
3. Pengamatan Laut
• Informasi cuaca
• Arah dan kecepatan arus maupun gelombang
• Rute dan arah kapal
• Pengembangan alur
• Perlindungan Sumberdaya laut
4. Fasilitas Keselamatan Pelayaran
• Implementasi aturan keselamatan (konvensi IMO, IALA)
• Kebutuhan jumlah dan lokasi SBNP dan VTIS
• Penentuan teknologi SBNP dan VTIS
• Moderisasi peralatan fasilitas Keselamatan Pelayaran
• Penentuan spesifikasi teknis peralatan SBNP
5. Penataan Alur Pelayaran
• Tata ruang perairan (untuk menghindari konflik kepentingan)
• Peningkatan aksesbilitas kawasan andalan dan Budidaya
• Penetapan jalur pelayaran
• Penyelarasan dan keserasian pemanfaatan ruang
• Penegakkan aturan
• Perkembangan wilayah
• Daerah pedalaman, kewaspadaan, terlarang

10. KESIMPULAN

• Dalam rangka mewujudkan Keselamatan Pelayaran maka fungsi kegiatan Kenavigasian yang meliputi kegiatan yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), Telekomunikasi Pelayaran (Telkompel), Hidrografi, Alur dan Pelintasan, Bangunan atau lnstalasi, Pemanduan, penanganan kerangka kapal dan Salvage, dan atau Pekerjaan Bawah Air (PBA) untuk kepentingan Keselamatan Pelayaran serta harus didukung dengan seperangkat hukum yang memadai
• Untuk menjamin kepentingan Nasional di perairan maka semua fungsi keselamatan pelayaran harus dapat berjalan dengan tertib, terarah dan mempunyai landasan hukum yang mantap
• Kecenderungan masing-masing instansi menerbitkan produk hukum yang tidak terintegrasi yang mengakibatkan terjadi kesimpang-siuran dan tumpang tindih dalam melaksanakan pemanfaatan laut
• Bahwa sesungguhnya penetapa alur pelayaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tata ruang Nasionap secara keseluruhan khususnya di perairan sehingga merupakan satu dimensi yang tidak terpisahkan dari dimensi-dimensi yang lain yang membentuk tataruang nasional.
• Kebijakan penyelenggaraan Alur pelayaran dapat:
a) Mewujudkan keamanan dan keselamatan berlayar di laut
b) Mampu mengatasi berbagai kepentingan dilaut dan sinkron dengan upaya penataan ruang perairan (laut)
c) Merencanakan program penataan dan pembangunan system lalu-lintas laut
d) Mengatur dan menata berbagai aktivitas di alur pelayaran